Label

Rabu, 20 September 2017

Melawan Lupa Sejarah Bangsa





menolak lupa
Bangsa yang menghargai sejarah bangsanya dan “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu adalah penggalan pidato yang disampaikan oleh Bung Karno saat hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke-21. Belakangan ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pembicaraan hangat di media massa baik cetak, dan elektronik serta media sosial seperti Facebook. Munculnya beragam meme seperti “palu dan arit” diindikasikan sebagai gejala bangkitnya kembali PKI oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Tidak berhenti sampai di situ saja, penangkapan seorang pemuda karena mempunyai baju bertuliskan Pecinta Kopi Indonesia (PKI) dan beberapa buku yang mengulas tragedi 30 September 1965 juga menjadi sasaran tangkap oleh aparat tertentu. Pembubaran pemutaran film di sekretariat Aliansi Jurnalistik Indonesia di Yogyakarta diduga sebagai kegiatan bangkitnya PKI dan pembubaran diskusi-diskusi oleh organisasi massa tertentu yang mengindikasikan bahwa diskusi yang dilakukan berhubungan dengan munculnya PKI yang identik dengan Komunisme/Marxisme/Leninisme walaupun itu berada pada lingkungan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi.
Melihat gejolak penangkapan dan pembubaran oleh aparat dan ormas tertentu, penulis ingin menjelaskan dari sudut pandang yang berbeda. Dengan jelas dapat diamati, seperti pertarungan antara generasi muda versus generasi tua. Generasi muda yang diindikasikan sebagai kubu PKI dan generasi tua sebagai kubu Anti PKI. Namun, tidak semua generasi muda dapat dikategorikan seperti itu dan begitu juga sebaliknya dengan generasi tua.
Kejadian-kejadian seperti itu pasti ada pemicunya dan menunjukkan bahwa adanya ketidakjelasan sejarah di negeri ini. Pemerintah begitu lamban menyelesaikan tragedi 65 yang sudah berjalan 50 tahun dan menjadi misteri di republik ini. Menjadi misteri bagi generasi mudanya. Kisah-kisah sejarah bangsa yang dituangkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah baik dasar, menengah dan juga atas tidak mampu membendung semangat generasi muda yang ketika masuk ke perguruan tinggi untuk mencari kebenaran sejarah bangsanya. Dari beberapa contoh di atas, sudah menggambarkan bagaimana generasi muda menyikapi sejarah bangsanya.
Pendidikan
Pertanyaannya kemudian, apakah yang dilakukan sebagian anak muda itu salah? Siapa yang harus disalahkan?. Pemerintahan saat ini harus serius menyikapi permasalahan ini. Generasi muda mutlak akan meneruskan estafet perjalanan bangsa. Jika semakin banyak pemuda khususnya yang lahir pada era 90-an tidak mengetahui dan memahami sejarah bangsanya dengan baik dan benar, akankah bangsa ini bisa berjalan dengan baik?. Bangsa seperti itu bisa digambarkan seperti sebuah jalan beraspal yang sangat mulus tapi dibawahnya terdapat lubang yang sangat besar yang pada suatu saat nanti ketika orang yang melintasinya tiba-tiba terjatuh ke dalam karena tidak mengetahui bahwa lubang itu tidak ditutup dengan baik oleh si pembuatnya.
Pemerintah tidak boleh abai dengan persoalan ini. Kesaksian sejarawan Milan Hulb yang dikutip oleh Anton Kurnia dalam buku Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa (2016) mengatakan langkah pertama untuk menaklukkan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya. Faktanya cara ini, tidak mampu bertahan lama di negeri ini, terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang penulis jelaskan sebelumnya.
Jika pendidikan formal baik dasar, menengah, dan atas adalah sarana dan cara terbaik bagi pemerintah untuk menutupi sejarah yang belum terungkap kepastian akan kebenarannya, maka dengan cara pendidikan seperti itu juga yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki dan mengembalikan sejarah yang benar kepada generasi muda sebagai calon penerus bangsa. Dua belas tahun pendidikan SD, SMP, dan SMA adalah waktu yang cukup untuk menanamkan sejarah yang benar untuk generasi penerus bangsa ini. Penyediaan bahan bacaan seperti buku-buku yang cukup valid harus dilakukan mulai saat ini. Butanya sebuah generasi pasti disebabkan oleh generasi sebelumnya.
Pancasila
Bangsa ini memiliki Pancasila sebagai falsafah ideal yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Namun, ada kemunduran oleh generasi penerusnya karena tidak mampu membumikan ajaran-ajaran Pancasila sebagai nilai yang seharusnya hidup di dalam jiwa masing-masing masyarakatnya. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh cendikiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner yang dikutip oleh Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011)—tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.  Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengarahkan dan memahami kembali Pancasila sebagai pedoman, dasar dan arah bangsa ini. Karena seperti yang dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno dalam prolog buku Negara Paripurna bahwa kebangsaan Indonesia di abad ke-21 kita ini bukan sesuatu yang terberi, melainkan hasil sebuah proses nation building terus-menerus. Kalau tidak dipelihara maka dapat juga menguap. Melupakan adalah bentuk lain dari kematian–karangan novelis Cekoslovakia Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting (1979).