Bangsa yang menghargai sejarah bangsanya
dan “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu adalah
penggalan pidato yang disampaikan oleh Bung Karno saat hari ulang tahun
Republik Indonesia yang ke-21. Belakangan ini, Partai Komunis Indonesia
(PKI) menjadi pembicaraan hangat di media massa baik cetak, dan
elektronik serta media sosial seperti Facebook. Munculnya beragam meme
seperti “palu dan arit” diindikasikan sebagai gejala bangkitnya kembali
PKI oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Tidak berhenti sampai di situ saja,
penangkapan seorang pemuda karena mempunyai baju bertuliskan Pecinta
Kopi Indonesia (PKI) dan beberapa buku yang mengulas tragedi 30
September 1965 juga menjadi sasaran tangkap oleh aparat tertentu.
Pembubaran pemutaran film di sekretariat Aliansi Jurnalistik Indonesia
di Yogyakarta diduga sebagai kegiatan bangkitnya PKI dan pembubaran
diskusi-diskusi oleh organisasi massa tertentu yang mengindikasikan
bahwa diskusi yang dilakukan berhubungan dengan munculnya PKI yang
identik dengan Komunisme/Marxisme/Leninisme walaupun itu berada pada
lingkungan institusi pendidikan seperti perguruan tinggi.
Melihat gejolak penangkapan dan
pembubaran oleh aparat dan ormas tertentu, penulis ingin menjelaskan
dari sudut pandang yang berbeda. Dengan jelas dapat diamati, seperti
pertarungan antara generasi muda versus generasi tua. Generasi muda yang
diindikasikan sebagai kubu PKI dan generasi tua sebagai kubu Anti PKI.
Namun, tidak semua generasi muda dapat dikategorikan seperti itu dan
begitu juga sebaliknya dengan generasi tua.
Kejadian-kejadian seperti itu pasti ada
pemicunya dan menunjukkan bahwa adanya ketidakjelasan sejarah di negeri
ini. Pemerintah begitu lamban menyelesaikan tragedi 65 yang sudah
berjalan 50 tahun dan menjadi misteri di republik ini. Menjadi misteri
bagi generasi mudanya. Kisah-kisah sejarah bangsa yang dituangkan dalam
buku-buku pelajaran sejarah di sekolah baik dasar, menengah dan juga
atas tidak mampu membendung semangat generasi muda yang ketika masuk ke
perguruan tinggi untuk mencari kebenaran sejarah bangsanya. Dari
beberapa contoh di atas, sudah menggambarkan bagaimana generasi muda
menyikapi sejarah bangsanya.
Pendidikan
Pertanyaannya kemudian, apakah yang
dilakukan sebagian anak muda itu salah? Siapa yang harus disalahkan?.
Pemerintahan saat ini harus serius menyikapi permasalahan ini. Generasi
muda mutlak akan meneruskan estafet perjalanan bangsa. Jika semakin
banyak pemuda khususnya yang lahir pada era 90-an tidak mengetahui dan
memahami sejarah bangsanya dengan baik dan benar, akankah bangsa ini
bisa berjalan dengan baik?. Bangsa seperti itu bisa digambarkan seperti
sebuah jalan beraspal yang sangat mulus tapi dibawahnya terdapat lubang
yang sangat besar yang pada suatu saat nanti ketika orang yang
melintasinya tiba-tiba terjatuh ke dalam karena tidak mengetahui bahwa
lubang itu tidak ditutup dengan baik oleh si pembuatnya.
Pemerintah tidak boleh abai dengan
persoalan ini. Kesaksian sejarawan Milan Hulb yang dikutip oleh Anton
Kurnia dalam buku Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia
Atas Hegemoni Kuasa (2016) mengatakan langkah pertama untuk menaklukkan
sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan
buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang
menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah
baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan
masa lampaunya. Faktanya cara ini, tidak mampu bertahan lama di negeri
ini, terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang penulis jelaskan
sebelumnya.
Jika pendidikan formal baik dasar,
menengah, dan atas adalah sarana dan cara terbaik bagi pemerintah untuk
menutupi sejarah yang belum terungkap kepastian akan kebenarannya, maka
dengan cara pendidikan seperti itu juga yang harus dilakukan pemerintah
untuk memperbaiki dan mengembalikan sejarah yang benar kepada generasi
muda sebagai calon penerus bangsa. Dua belas tahun pendidikan SD, SMP,
dan SMA adalah waktu yang cukup untuk menanamkan sejarah yang benar
untuk generasi penerus bangsa ini. Penyediaan bahan bacaan seperti
buku-buku yang cukup valid harus dilakukan mulai saat ini. Butanya
sebuah generasi pasti disebabkan oleh generasi sebelumnya.
Pancasila
Bangsa ini memiliki Pancasila sebagai
falsafah ideal yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Namun,
ada kemunduran oleh generasi penerusnya karena tidak mampu membumikan
ajaran-ajaran Pancasila sebagai nilai yang seharusnya hidup di dalam
jiwa masing-masing masyarakatnya. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh
cendikiawan-politisi Amerika Serikat John Gardner yang dikutip oleh
Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila (2011)—tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak
sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna
menopang peradaban besar. Oleh sebab itu, menjadi tanggungjawab dan
tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengarahkan dan memahami kembali
Pancasila sebagai pedoman, dasar dan arah bangsa ini. Karena seperti
yang dijelaskan oleh Frans Magnis-Suseno dalam prolog buku Negara
Paripurna bahwa kebangsaan Indonesia di abad ke-21 kita ini bukan
sesuatu yang terberi, melainkan hasil sebuah proses nation building
terus-menerus. Kalau tidak dipelihara maka dapat juga menguap. Melupakan
adalah bentuk lain dari kematian–karangan novelis Cekoslovakia Milan
Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting (1979).