Kisah mistis hutan Jati Donoloyo Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri sudah tersiar sejak jaman dahulu. Sebuah hutan yang berada di Desa Watusomo Kecamatan Slogohimo yang terdiri dari ratusan pohon jati tua bahkan ada yang berumur 500 tahun.
Keberadaan hutan jati ini ternyata menyimpan kisah bersejarah tentang kerajaan Majapahit. Hutan belantara dengan nama Donoloyo tersebut konon dulunya merupakan pemasok kayu jati untuk kerajaan Majapahit,
Nama Donoloyo sendiri berasal dari seorang tokoh desa tersebut sekaligus laskar kerajaan Majapahit, Ki Ageng Donoloyo. Dia sengaja menanam pohon jati di kawasan tersebut untuk persediaan bahan bangunan kerajaan. Bahkan, setelah Majapahit runtuh, kayu jati dari Donoloyo masih digunakan di era Wali Songo, tepatnya untuk pembangunan Masjid Demak dan Keraton Surakarta.
Kualitas kayu dari hutan Donoloyo khususnya di kawasan Punden memang tak perlu diragukan. Kayu jati di hutan tersebut rata-rata memiliki tinggi 10 meter dengan diameter 1 meter. Tak heran jika bangunan tempo dulu dengan bahan kayu jati asal alas Donoloyo tidak lapuk meski sudah berumur puluhan tahun.
Selain kisah mengenai kayu jati yang sangat kesohor itu, belantara Donoloyo rupanya menyimpan kisah mistis. Konon, sang penguasa hutan, Ki Ageng Donoloyo masih hidup karena sampai sekarang makam sang Laskar Majapahit tersebut belum juga ditemukan
beliau merupakan prajurit Majapahit yang melarikan diri sampai ke sini
Ki Ageng Donoloyo adalah salah satu anggota laskar Kerajaan Majapahit. Begitu setianya kepada raja dan ingin mengabdikan hidup pada Kerajaan Majapahit, Ki Ageng Donoloyo yang kala itu tertinggal ketika mengikuti rombongan perjalanan raja, akhirnya memutuskan untuk menetap di situ dan menanam pohon jati agar nanti suatu ketika bisa dimanfaatkan Kerajaan Majapahit.
Dikisahkan jaman dahulu awal berkembangnya agama Islam di Jawa, para wali ingin mendirikan sebuah Masjid sebagai sentral untuk syiar agama. Masjid ini berlokasi di Demak yang memang merupakan pusat dari berkembangnya agama Islam.
Kemudian para wali mengutus Sunan Kalijaga ini mengembara mencari pohon yang akan digunakan sebagai tiang untuk mendirikan Masjid Agung ini. Berkat kharomah Sang Sunan Kalijaga dapat melihat bayangan sebuah pohon besar yang sampai dapat dilihatnya dari Demak.
Merasa bahwa bayangan ini berasal dari sebuah pohon besar yang sedang dicarinya maka Sunan Kalijaga mencari dari mana asal bayangan pohon ini.
Dalam pencariannya Sunan kalijaga akhirnya menuju arah selatan Jawa, hingga tiba disebuah hutan jati diseberang sungai. Disinilah Sunan Kalijaga beristirahat, dan mendirikan sebuah Masjid yang sekarang dikenal sebagai Masjid Tiban Wonokerso di Baturetno.
Sunan Kalijaga kemudian meneruskan perjalanan ke arah timur laut karena bayangan pohon yang dicarinya belum ketemu.
Setelah beberapa waktu melakukan perjalanan, Sunan Kalijaga akhirnya sampai di hutan Jati Donoloyo. Disinilah ternyata asal muasal bayangan pohon yang bisa terlihat hingga ke wilayah Demak.
Akhirnya seraya mengucapkan syukur kepada Sang Khalik, Sunan Kalijaga menebang pohon Jati induk ini untuk dijadikan tiang utama Masjid Agung Demak. Sisa pangkal (Pok) pohon jati inilah yang sekarang dijadikan petilasan atau punden.
Disekitar petilasan masih terdapat beberapa pohon Jati yang berukuran raksasa dengan diameter lebih dari 1 meter sehingga menambah aura spiritual yang kuat.
Menurut juru kunci petilasan Donoloyo,petilasan ini masih sering dikunjungi orang untuk bermunajat kepada Sang Khalik maupun hanya sekedar menenangkan batin yang sedang dirundung suatu masalah.
“Pohon jati yang tertua di hutan ini diberi nama Jati Petruk dan Jagal Abilawa yang memiliki diameter cukup besar” katanya.
Bagi mereka yang ingin sekedar berwisata terdapat area parkir yang cukup luas, serta dilengkapi bangunan peristirahatan. Menikmati suasana hutan jati ini seakan membawa kita kepada suasana di masa lalu, terdapat pohon jati ukuran raksasa ditambah hawa sejuk dan angin semilir yang menenteramkan.
Seiring dengan usia pohon jati yang semakin tua dan rapuh, ada beberapa pohon yang tumbang karena akar pohon sudah lapuk dan akar muda belum kuat menyangga batang utama yang besar.
Apabila pohon tumbang maka pohon yang tumbang ini akan dibiarkan dan tidak ada seorangpun berani mengambil bahkan rantingnya sekalipun.
Hal ini karena kepercayaan masyarakat bahwa membawa pohon, ranting, daun dan apapun dari hutan ini akan celaka dan secara magis akan dikembalikan ke tempat semula.
Padamulanya Donoloyo adalah nama sebuah hutan yang berada di tepian hulu Bengawan Solo. Kemudian nama inilah yang digunakan oleh masarakat sekitar hutan itu untuk menyebut seorang laki-laki yang terkenal santun dan bijak lagi sakti yang kemudian babat alas (membabat hutan) untuk ia diami kelak bersama keluarganya. Orang-orang sekitar hutan itu menyebutnya Ki Ageng Donoloyo.
Ki Ageng (sebutan untuk orang yang dihormati di suatu desa) Donoloyo adalah seorang laskar Majapahit yang tertinggal dari pasukannya di daerah Wonogiri sebelah timur, tepatnya di desa Sambirejo kecamatan Slogohimo sehingga ia memutuskan untuk tidak kembali dan menetap di wilayah itu (ada yang berpendapat hal ini diperkirakan oleh pengaruh raja mereka, Airlangga yang memutuskan meninggalkan kerajaan untuk mencari keabadian dengan bertapa, namun ada pula versi lain yang mengatakan bahwa mereka berdua tidak pulang ke Majapahit akibat terjadi peperangan saudara dan desakan dari kerajaan Islam Demak).
(Menurut versi lain pula banyak orang mengatakan bahwa Ki Ageng masih kerabat dekat dengan Airlangga, penguasa Majapahit ketika itu yang mana kemudian memberikan sebuah wilayah untuk dikembangkan menjadi sebuah desa layaknya Gajah Mada).
Ketika tertinggal ia tidak sendiri melainkan ia bersama seorang laskar lain yang kelak dinamakan oleh orang-orang sekitarnya dengan nama Ki Ageng Sukoboyo. Namun kemudian mereka memutuskan untuk berpisah mencari wilayah sendiri-sendiri untuk mereka jadikan tempat menepi dan kelak pada akhirnya berkeluarga. Ki Ageng Donoloyo menuju ke selatan sementara Ki Ageng Sukoboyo menuju ke utara di hutan Sukoboyo setelah terjadi pertengkaran kecil di tengah-tengah wilayah yang kemudian kelak mereka diami. Ki Ageng Sukoboyo mempunyai watak yang keras sementara Ki Ageng Donoloyo sebaliknya.
Setelah beberapa tahun kemudian Ki Ageng Donoloyo dicari oleh seorang kakak perempuannya. Hingga pada akhirnya suatu saat kakak Ki Ageng Donoloyo itu dipersunting oleh Ki Ageng Sukoboyo. Hal inilah yang kemudian mempererat kembali ikatan di antara keduanya meski pada mulanya mereka sempat berseteru memperebutkan tempat menepi.
Masalah kedua pun muncul (kelak masalah ini merenggangkan kembali persaudaraan mereka) ketika Ki Ageng Donoloyo ingin mengunjungi kakak perempuannya setelah sekian lama tidak bertemu. Kejadian ini adalah ketika Ki Ageng Donoloyo hendak pulang ke daerahnya, ia terpaku pada sekitar kediaman Ki Ageng Sukoboyo yang tumbuh beberapa pohon Jati besar, tinggi menjulang. Ia tidak tahu sebelumnya kalau di sekitar rumah kakak iparnya itu tumbuh pohon yang belum ia temui selama hidupnya. Pohon itu seperti mengeluarkan sinar. Terbersit kemudian dalam hatinya untuk bertanya pohon apakah itu kepada Ki Ageng Sukoboyo. Kamudian dijelaskan bahwa pohon itu bernama pohon “jati” pohon yang memiliki batang kayu berkualitas paling baik (sejatinya kayu) di Kedhuang Ombo (tanah Jawa), dan tidak sembarang orang boleh menanamnya. Mendengar penjelasan itu Ki Ageng Donoloyo sangat tertarik untuk meminta klentheng (biji kayu jati) untuk ia tanam di daerahnya. Namun ketika ia mengutarakan niatnya itu, justru ia mendapatkan tolakan. Ki Ageng Sukoboyo marah-marah tak terkira mendengar permintaan Ki Ageng Donoloyo. Namun dengan sabar Ki Ageng Donoloyo hanya menunduk dan diam mendapatkan semprotan marah kakak iparnya itu. Lantas ia pun berpamitan untuk kembali ke niatnya semula yakni pulang ke daerahnya (kelak disebut hutan Donoloyo).
Sesampainya di tengah perjalanan ia tercengang keget ketika kakak perempuannya (istri Ki Ageng Sukoboyo) meneriakinya dari belakang. Ia pun berhenti dan menoleh. Sang kakak menghampiri dan berkata bahwa ia telah mendengar percakapannya dengan Ki Ageng Sukoboyo dan juga permintaan tersebut. Sang kakak menyarankan agar ia satu purnama lagi kembali dan membawa tongkat dari bambu uluh (jenis bambu paling kecil yang biasa dipakai sebagai tempat membran terompet tahun baru) untuk menyembunyikan biji jati dengan cara menghunjamkan tongkat itu di atas klentheng / biji jati sehingga biji tersebut akan masuk dengan sendirinya. Sang kakak melarangnya untuk waktu dekat ia kembali lagi ke rumahnya sebab ia khawatir Ki Ageng Sukoboyo masih merasa tersinggung dan menyimpan marah dengan permintaan adiknya tempo hari.
Dan sampailah satu purnama itu, Ki Ageng Donoloyo akhirnya berhasil mencuri dua biji jati dari pekarangan Ki Ageng Sukoboyo meski ketika itu mereka berdua bersama-sama tampak asik berjalan-jalan sembari bercakap-cakap di bawah pohon jati kesayangan Ki Ageng Sukoboyo.
Meski berhasil mencuri dua biji klentheng dan merasa yakin jika Ki Ageng Sukoboyo tidak mengetahui tindakan culasnya ini ia masih saja gugup, dan hal ini membuatnya pulang dengan tergesa-gesa dan membuat sepasang kakinya sedikit berlari.
Sampailah kemudian ia di hutan Denok (sekarang desa Made). Ia beristirahat di bawah pohon bulu (semacam beringin) yang rindang. Di situlah kemudian satu biji terjatuh dan tumbuh besar dengan dililit pohon bulu (pohon jati berada tepat di tengah lilitan pohon bulu sehingga terlihat unik, tampak seperti pohon bulu yang merangkul pohon jati). Jati itu kemudian dinamakan jati Denok. Sementara satu biji kemudian ditanam di hutan Donoloyo yang kelak dinamakan Jati Cempurung, yang juga kemudian dipercayai digunakan sebagai soko guru pembangunan masjid Demak kali pertama. Jati Cempurung ini memiliki keunikan yakni sore ditanam paginya sudah tumbuh dengan berdaun dua. Maka tidak heran jika kemudian konon jati ini tumbuh dengan cepat dan besar sehingga bayang-bayangnya ketika pagi sampai di tengah alun-alun Demak.
Maka semenjak itulah ketika jati Cempurung sudah beranak-pinak Ki Ageng Donoloyo melarang warga sekitar hutan Donoloyo untuk membawa atau menjual pohon jati dari Donoloyo kepada orang-orang di utara jalan (sekarang jalan raya Wonogiri-Ponorogo yang dipercayai sebagai tempat pertengkaran pertama kali antara Ki Ageng Donoloyo dengan Ki Ageng Sukoboyo ketika berebut tempat untuk menepi) sebab hal itu akan berdampak kematian, kayu jati itu dengan sendirinya akan berubah menjadi jengges tenung (santhet) pada yang membawa (mengangkut) dan yang menjualnya.
Konon pula kemudian Jati yang berasal dari hutan Donoloyo semua memiliki ciri growong di tengah batangnya meskipun sedikit, sebab hal ini dikarenakan induknya (Jati Cempurung) adalah dari hasil mencuri. Selain itu keunikan lainnya adalah adanya suatu cerita yang mengatakan bahwa ketika keraton Surakarta membutuhkan dua batang pohon jati yang berasal dari hutan Donoloyo dapat kembali lagi ke asalnya setelah seorang ndalem (kerabat keraton) mencemoohnya. Jati itu kembali ke sisi hutan Donoloyo paling barat, tepatnya di desa Pandan (dan dua batang pohon jati itu sampai sekarang masih ada. Orang-orang mempercayai dua batang pohon jati yang tergeletak di pinggir sebuah sawah di desa Pandan itu adalah Jati yang kembali akibat dicemooh orang nDalem Keraton Surakarta).
Jati Cempurung dan Masjid Demak
Ki Ageng Donoloyo sangat takjub dengan pertumbuhan jati yang ditanamnya ini. Pohon jati itu tumbuh dengan luar biasa. Dengan waktu yang tidak lama pohon jati itu tumbuh besar menjulang tinggi. Pohon jati itu memberinya kebanggaan luar biasa. Setiap hari ia memandangnya sembari memanjakan burung perkutut putih kesukaanya sembari pula menghisap candu dengan pipa panjang yang dihisap dari samping bersama anak-anak dan istrinya (versi lain mengatakan bahwa Ki Ageng Donoloyo tidak beristri). Sesekali sembari menikmati pohon jati itu Ki Ageng menanggap ledhek mbarang (orkes keliling) jika kebetulan lewat.
Hingga pada akhirnya datanglah utusan Raden Patah dari kerajaan Demak menemui Ki Ageng Donoloyo untuk membeli pohon jati yang ditanamnya itu berapapun harganya. Ki Ageng Donoloyo pun memperbolehkannya, tapi ia tidak meminta apa-apa sebagai gantinya. Ia hanya meminta sebuah sarat “Lemah Kedhuang Ombo yen ono pagebluk njaluk kalis lan ojo kanggo papan peperangan : tanah Jawa ini jika ada paceklik maka segeralah bisa diatasi dan jangan dijadikan sebagai ajang peperangan.” Maka segeralah utusan itu ke Demak dan menyampaikan sarat Ki Ageng kepadanya. Maka Raden Patah pun menyanggupinya.
Raden Patah pun mengutus beberapa dari Wali Songo untuk menebang jati Cempurung. Sebelum menebang para wali itu berembug di sebuah desa mengenai penebangan hingga cara membawa kayu jati itu ke Demak sebab ukuran pohon jati yang luar biasa besarnya (sekarang desa tempat berembug para Wali itu dinamakan desa Pule kecamatan Jatisrono, yang berasal dari kata “Ngumpule” yang berarti berkumpul untuk berembug). Kemudian disepakatilah cara mengangkut Jati Cempurung itu setelah ditebang yakni dengan cara dihanyutkan di hulu sungai Bengawan Solo (tepat persis di belakang punden) ketika musim penghujan. Konon pula setelah Jati Cempurung itu ditebang batang paling ujung/ pucuk jatuh di sebuah desa di kecamatan Sidoarjo yang berjarak kurang lebih 18 km sehingga desa itu dinamakan desa Pucuk.
Setelah penebangan Jati Cempurung itulah menurut banyak orang kemudian Ki Ageng Donoloyo sudah tak tampak lagi di kediamannya. Banyak orang mempercayainya Ki Ageng telah moksa, hilang bersama raganya.
semoga cerita diatas menambah wawasan kita akan perjalanan spiritual leluhur kita dahulu
Dan hingga sekarang kepercayaan ini masih begitu kuat dan tidak seorangpun berani melakukan pencurian di hutan jati ini.