Munir (1965-2004) Menolak Lupa. Sumber : Anti Tank Project
“Lupa!!” adalah kata-kata yang sering
kita ucapkan ketika kita tidak ingat sesuatu atau bahkan ketika dalam
keadaan kewajiban yang mendesak, kita pura-pura tidak ingat. Sering kali
kata “lupa” menjadi perisai bagi kita untuk menyangkal berbagai
tindakan kesalahan kita yang sebenarnya sepele untuk dilakukan. Kata ini
pula yang membuat tanggugjawab masa depan semakin besar karena masalah
bukannya selesai, masalah makin menghantui dibelakang kita hingga
masalah tersebut membunuh jati diri kita.
7 September 2004, Indonesia digegerkan dengan kematian tak wajar seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir. Pria bernama lengkap Munir Sahid Thalib ini dikabarkan meninggal karena racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. Pria tersebut mendengkak, rebah tak berdaya, air liur tak berbusa dan telapak tangan membiru.
Munir tak lekang dari ingatan para pecinta kedamaian. Meski telah 12 tahun berlalu, semangat Munir masih saja menggebu-gebu di hati para “sebagian kalangan”yang tak merelakan kepergiannya apalagi dengan cara yang tak wajar tersebut.
Berbagai kasus pernah oleh pria beralmamater Universitas Brawijaya ini. sebut saja kasus Marsinah yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994, membantu para pihak dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa rentang tahun 1997-1998, membantu korban dan keluarga penembakan tragedi Semanggi, membantu kasus pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Maluku melalui Kontras, menangani kasus Araujo yang pernah dituduh sebagai pemberontak untuk memisahkan Timor Timur dan Indonesia tahun 1992, membantu warga Nipah, Madura dalam kasus petani oleh militer pada tahun 1993, membantu Muhadi, sopir yang dituduh melakukan pembunuhan Polisi di Madura, dan kasus lainnya yang tak terungkapkan satu persatu.
Jerih payahnya tak tergantikan untuk menegakkan suara keadilan, memekikkan semangat persamaan hak asasi manusia dalam nama Pancasila. Tak jarang Munir mendapat kecaman dari berbagai pihak. Operasi diam-diam dilakukan untuk melucuti aksinya. Tetapi, semakin ditekan, semakin menjadi. Munir tak mengenal waktu, tak kenal lelah, berjuang untuk rakyat yang tertindas oleh kekuasaan tak terbatas dari penguasa.
12 tahun lalu, kematian Munir meninggalkan misteri. Siapa sebenarnya dalang dari kejadian ini? mungkinkah hanya satu orang saja yang bernama Pollycarpus menjadi dalang sendiri, pelaku sendiri, dan eksekutor sendiri? 12 Desember 2005, kematian Munir hanya meninggalkan satu titik, rezim berkuasa tak mampu menemukan titik lainnya, siapa sebenarnya otak aksi ini? Pollycarpus dibui 14 tahun penjara meski pada 28 November 2014 dinyatakan bebas bersyarat. Selebihnya, tak ada niat serius untuk menemukan rangkaian kejahatan ini.
Segala dakwaan dilakukan, tapi dianggap tidak melahirkan bukti kuat. Pemerintah seakan tak serius menanggapi pembunuhan yang dipastikan berencana dan bersistem ini. Sudah dua rezim pemerintahan dilalui oleh umur kematiannya, tak kunjung ada penyelesaian. Pemerintah pernah berjanji untuk “melawan lupa” terhadap nasib mereka yang diperlakukan tidak adil oleh kejadian masa lalu.
Seperti janji kampanye, lekang begitu saja bahkan seakang tak ingin meninggalkan bekas. Ketika sudah saatnya, dicari alasan lain untuk mengulur waktu. Entah, lupa atau pura-pura lupa. Ketika sudah duduk diatas sana, seakan amnesia sudah menyerang ingatan mereka, mereka yang dulu pernah berjanji untuk “melawan lupa!!!”
Maukah kita melawan lupa itu? atau kita terima saja kelupaan ini sehingga membuat perjuangan Munir menjadi sia-sia? Sudahkah semua elemen penegak hukum termasuk pemerintah serius untuk menggenapi janjinya, penegakan HAM yang seadil-adilnya termasuk kasus masa lalu?
Munir memang sudah terbunuh, sudah mati, jasadnya terurai, tetapi jiwanya justru lahir dalam jiwa-jiwa muda penegak hak asasi manusia. Meski racun-racun menjalar dalam darah Munir, tak akan sanggup membunuh sebuah kejujuran dan keberanian.
Munir-munir baru akan tumbuh, dan akan lahir lebih banyak lagi. Suatu saat, sejarah bangsa ini akan mencatat bahwa bangsa kita adalah bangsa pelupa. Bangsa yang pura-pura lupa akan seorang yang rela memberikan jiwa dan raganya untuk keadilan. Bangsa yang lupa akan hak seorang manusia untuk mendapatkan keadilan, keadilan sebagai manusia, manusia pada umumnya.
Pancasila tidak dibangun untuk menerima lupa. Pancasila tidak dibangun untuk berpura-pura tidak tahu dan lupa. Pancasila menuntut bangsa dalam kesetaraan hak dan kewajiban yang seadil-adilnya. Bangsa butuh sejarah yang benar, pasti dan tidak disengaja untuk dilupakan agar kelak generasi muda bisa membela kebenaran, mau bersatu dalam kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Mari menolak lupa.
sumber :http://www.kompasiana.com
7 September 2004, Indonesia digegerkan dengan kematian tak wajar seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir. Pria bernama lengkap Munir Sahid Thalib ini dikabarkan meninggal karena racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. Pria tersebut mendengkak, rebah tak berdaya, air liur tak berbusa dan telapak tangan membiru.
Munir tak lekang dari ingatan para pecinta kedamaian. Meski telah 12 tahun berlalu, semangat Munir masih saja menggebu-gebu di hati para “sebagian kalangan”yang tak merelakan kepergiannya apalagi dengan cara yang tak wajar tersebut.
Berbagai kasus pernah oleh pria beralmamater Universitas Brawijaya ini. sebut saja kasus Marsinah yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994, membantu para pihak dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa rentang tahun 1997-1998, membantu korban dan keluarga penembakan tragedi Semanggi, membantu kasus pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Maluku melalui Kontras, menangani kasus Araujo yang pernah dituduh sebagai pemberontak untuk memisahkan Timor Timur dan Indonesia tahun 1992, membantu warga Nipah, Madura dalam kasus petani oleh militer pada tahun 1993, membantu Muhadi, sopir yang dituduh melakukan pembunuhan Polisi di Madura, dan kasus lainnya yang tak terungkapkan satu persatu.
Jerih payahnya tak tergantikan untuk menegakkan suara keadilan, memekikkan semangat persamaan hak asasi manusia dalam nama Pancasila. Tak jarang Munir mendapat kecaman dari berbagai pihak. Operasi diam-diam dilakukan untuk melucuti aksinya. Tetapi, semakin ditekan, semakin menjadi. Munir tak mengenal waktu, tak kenal lelah, berjuang untuk rakyat yang tertindas oleh kekuasaan tak terbatas dari penguasa.
12 tahun lalu, kematian Munir meninggalkan misteri. Siapa sebenarnya dalang dari kejadian ini? mungkinkah hanya satu orang saja yang bernama Pollycarpus menjadi dalang sendiri, pelaku sendiri, dan eksekutor sendiri? 12 Desember 2005, kematian Munir hanya meninggalkan satu titik, rezim berkuasa tak mampu menemukan titik lainnya, siapa sebenarnya otak aksi ini? Pollycarpus dibui 14 tahun penjara meski pada 28 November 2014 dinyatakan bebas bersyarat. Selebihnya, tak ada niat serius untuk menemukan rangkaian kejahatan ini.
Segala dakwaan dilakukan, tapi dianggap tidak melahirkan bukti kuat. Pemerintah seakan tak serius menanggapi pembunuhan yang dipastikan berencana dan bersistem ini. Sudah dua rezim pemerintahan dilalui oleh umur kematiannya, tak kunjung ada penyelesaian. Pemerintah pernah berjanji untuk “melawan lupa” terhadap nasib mereka yang diperlakukan tidak adil oleh kejadian masa lalu.
Seperti janji kampanye, lekang begitu saja bahkan seakang tak ingin meninggalkan bekas. Ketika sudah saatnya, dicari alasan lain untuk mengulur waktu. Entah, lupa atau pura-pura lupa. Ketika sudah duduk diatas sana, seakan amnesia sudah menyerang ingatan mereka, mereka yang dulu pernah berjanji untuk “melawan lupa!!!”
Maukah kita melawan lupa itu? atau kita terima saja kelupaan ini sehingga membuat perjuangan Munir menjadi sia-sia? Sudahkah semua elemen penegak hukum termasuk pemerintah serius untuk menggenapi janjinya, penegakan HAM yang seadil-adilnya termasuk kasus masa lalu?
Munir memang sudah terbunuh, sudah mati, jasadnya terurai, tetapi jiwanya justru lahir dalam jiwa-jiwa muda penegak hak asasi manusia. Meski racun-racun menjalar dalam darah Munir, tak akan sanggup membunuh sebuah kejujuran dan keberanian.
Munir-munir baru akan tumbuh, dan akan lahir lebih banyak lagi. Suatu saat, sejarah bangsa ini akan mencatat bahwa bangsa kita adalah bangsa pelupa. Bangsa yang pura-pura lupa akan seorang yang rela memberikan jiwa dan raganya untuk keadilan. Bangsa yang lupa akan hak seorang manusia untuk mendapatkan keadilan, keadilan sebagai manusia, manusia pada umumnya.
Pancasila tidak dibangun untuk menerima lupa. Pancasila tidak dibangun untuk berpura-pura tidak tahu dan lupa. Pancasila menuntut bangsa dalam kesetaraan hak dan kewajiban yang seadil-adilnya. Bangsa butuh sejarah yang benar, pasti dan tidak disengaja untuk dilupakan agar kelak generasi muda bisa membela kebenaran, mau bersatu dalam kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Mari menolak lupa.
sumber :http://www.kompasiana.com