Label

Minggu, 24 September 2017

Megatruh

Kebermaknaan Tembang
“Gethek Sinonggo Bajul”
Tembang Jawa yang satu ini, menceritakan tentang perjalanan Jaka
Tingkir.
Liriknya sebagai berikut :

sigro milir
sang gethek sinonggo bajul
kawan doso kang njageni
ing ngarso miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kering
sang gethek lampahnyo alon

"mengalirlah segera sang rakit dipikul buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri

sang rakitpun berjalan pelan"

Arti secara bahasa dalam tembang tersebut adalah,

    Sigro berarti segera.
    Milir berarti meluncur atau mengalir.
    Sang berarti gelar kepada junjungan seperti Kanjeng, Sang Prabu, dan
 lain-lain.
    Gethek berarti sampan, yang biasanya terbuat dari batang bambu atau
pohon pisang.
    Sinonggo yang berarti ditopang atau diangkat.
    Kawan doso, singkatan dari sekawan doso yang berarti empat puluh.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, angka tersebut memiliki makna tersendiri.

    Kang berarti yang, kata penghubung.
    Njageni berarti mengawal atau melindungi.
    Ing berarti di, kata depan untuk keterangan waktu atau tempat.
    Ngarso berarti depan,
    Miwah (hampir sama dengan lan) berati dan,
    Pungkur berarti belakang.
    Tanapi berarti juga.
    Lampahnyo artinya langkahnya.
    Alon berarti pelan, namun mengandung suatu kepastian langkah.


Dalam kisah tersebut, rakit yang dikendarai oleh Jaka Tingkir diserang
oleh kawanan buaya siluman. Namun karena Jaka Tingkir sakti, maka
kawanan buaya yang jumlahnya 40 ekor itu dapat ditaklukkan. Bahkan,
kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit yang dikendarai oleh
Jaka tingkir sampai ke tujuan.

Tapi ada pula yang menyebutkan bahwa tembang Jawa yang satu ini
merupakan sindiran halus kepada Jaka Tingkir (Mas Karebet). Suatu ketika
 Jaka Tingkir sedang dalam perjalanan ke Demak Bintoro, dan mampir ke
sebuah desa yang bernama Kedung Srengenge. Di desa itu Jaka Tingkir
bertemu dengan seorang gadis, lalu dipikatnya. Gadis desa itu pun hamil
dan minta pertanggungjawaban Jaka Tingkir, tetapi ia mengelak. Ayah
gadis itu dan warga desa marah, serta berniat memaksa Jaka Tingkir
mengawini gadis desa itu. Akan tetapi, dengan kesaktiannya Jaka Tingkir
berhasil mengalahkan 40 warga desa yang mengeroyoknya itu.

Ada pula yang memaknai tembang “gethek sinonggo bajul” tersebut
menceritakan perjalanan Jaka Tingkir bersama tiga orang kawannya ke
daerah Prawata. Dengan menaiki gethek (sampan), mereka menyusuri Sungai
Dengkeng, Bengawan Picis dan akhirnya sampai di Kedung Srengenge. Di
tempat inilah secara tiba-tiba sampan yang mereka naiki dikepung oleh
ratusan buaya. Namun, dengan kesaktian Jaka Tingkir dan kawan-kawannya,
mereka dapat mengalahkan buaya-buaya tersebut. Bahkan, dengan sukarela
buaya-buaya tersebut akhirnya mendorong dan mengawal sampan yang mereka
naiki hingga sampai di ujung Desa Bulu, satu desa dengan sungai terdekat
 dari wilayah Prawoto.

Jika dimaknai lebih dalam, tembang di atas menggambarkan tentang seorang
 atau beberapa orang ksatria yang menempuh perjalanan dengan menyusuri
sungai. Mereka tidak mengayuh dayung, karena sampan (gethek) yang mereka
 tumpangi telah didorong dan dikawal oleh empat puluh kawanan buaya.
Hanya dengan memberikan perintah atau aba-aba, maka buaya-buaya tersebut
 akan mengantarkannya sampai tempat tujuan.


Sampan secara harfiah memang sarana transportasi air, namun sampan bisa
ditafsirkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Benda ini juga bisa
dimaknai sebagai kekuasaan untuk mencapai kemakmuran sebuah negara.
Sedangkan para ksatria, yang berada di atas sampan adalah raja beserta
para punggawanya. Sementara perintah yang diucapkan oleh para penumpang
sampan dapat diartikan sebagai keputusan dan kebijakan yang harus
diambil oleh pemerintah dalam menyelamatkan negara dan kesejahteraan
rakyat.

Air, yang menjadi pijakan sampan untuk sampai ke tujuan adalah rakyat,
masyarakat biasa yang santun dan tunduk kepada rajanya, namun pada satu
waktu dapat menjadi amarah ketika terusik harga dirinya. Air bisa
menenggelamkan orang-orang yang berada di atas sampan, sebagaimana
rakyat kecil yang diperlakukan secara tidak adil.

Sementara bajul (buaya) yang menjadi penunggu sungai bermakna sebagai
tokoh masyarakat atau bangsawan-bangsawan lokal. Para tokoh masyarakat
atau bangsawan lokal ini akan menambah wibawa suatu masyarakat, sehingga
 tidak akan diusik oleh orang luar, seperti sungai yang dihuni buaya
juga tidak akan dibuat mandi secara sembarangan.

Sedangkan “kawan doso”, dapat dimaknai sebagai tokoh masyarakat,
bangsawan lokal dan punggawa kerajaan. Maka semakin banyak tokoh
masyarakat atau punggawa kerajaan yang bisa diorganisir oleh raja maka
semakin kuat kekuasaannya.

Inti pesan tembang tersebut, menjadi raja atau pemimpin yang baik dan
tetap survive diperlukan kemampuan untuk mengorganisir kekuatan dan
elemen kekuasaan yang ada di bawahnya. Sang raja atau pemimpin harus
mampu mengeluarkan titah yang sebagaimana mestinya pada elemen-elemen
kekuasaan tersebut, berupa keputusan dan kebijakan yang memihak pada
rakyat kecil.
Diolah dari berbagai sumber