Label

Sabtu, 30 September 2017

Arti Falsafah Kosong Adalah Isi, Isi Adalah Kosong

"Hakikat dari Isi Tapi Kosong. Tak lagi ada 'aku' di dalam diri. Yg ada hanyalah penghambaan diri seepenuhnya kepada Sang Pencipta..."


"Sedangkan Isi Tapi Kosong adlh kesadaran sepenuhnya bhw kita bukanlah apa². Tak lebih besar dari sebuah titik yg dibuat oleh ballpoint."
"Kosong adalah isi", ia kosong namun sebenarnya sedang dalam proses pengisian. Maknanya adalah untuk bisa menguasai sebuah ilmu dan hikmah maka sebelumnya kita wajib mengosongkan gelas ilmu kita. Tanpa itu ilmu akan sulit masuk karena gelas pengetahuan kita sudah penuh.
"Semakin berisi, akan semakin kosong dan akan semakin tidak tau apa². Menyadari dgn sungguh² bhw semua adalah Dia dan hanya Dia Sang Pencipta"
Katakanlah anda ingin memahami makna dibalik amalan rezeki, maka mengosongkan diri adalah sebuah syarat agar makna amalan rezeki bisa anda serap seutuhnya. Hilangkan perasaan sudah pintar, pandai, hebat dsb. Hilangkan prasangka negatif, kemudian niatkan untuk menambah pengetahuan tentang hal tersebut. Jika hati sudah kosong maka gelas pengetahuan akan mudah sekali untuk masuk dan mengisi penuh dengan sebuah hikmah.
"Dalam perjalanan menuju Kosong Tapi Isi, pondasi yg akan menentukan. Di saat pondasi kokoh, akan naik menuju. Isi Tapi Kosong. Semua meniada"
Saya pernah kedatangan tamu seseorang yang secara finansial kurang, non islam, dan secara kepribadian kurang menyenangkan. Dia datang ke rumah saya dengan sahabatnya dikarenakan ada perlu. Namanya manusia kalau ada perlunya baru datang. Tetapi saya terima dengan kedua tangan terbuka walaupun istri saya antipati dan menyarankan tidak usah digubris. Barangkali ada manfaat yang bisa saya ambil darinya. Benar saja, dengan kedatanganya saya mendapatkan sebuah hikmah besar. Ia adalah sebuah peluang usaha diaman hal ini menjadi calon keran baru penghasilan kami.

Begitulah, kalau sobat menginginkan untuk memahami sebuah hikmah maka kosongkanlah dirimu dari sifat merasa sudah pintar, niscaya pemahaman itu akan gampang masuk. Dan ingatlah, sekali saja ilmu hikmah itu masuk kedalam hati anda maka selamanya tidak akan pernah hilang.

Sebaliknya, "isi adalah kosong". Siapapun yang merasa hebat, merasa pintar, merasa tinggi dsb sejatinya ia kosong. Setiap yang merasa bisa sebenarnya ia tidak memahami hikmah. Dan setiap ada ilmu dan kebijaksanaan yang baru tidak akan bisa masuk meresap dalam hatinya. Tidak peduli ia adalah ustadz, ulama, ketua atau bahkan presiden sekalipun. Yang namanya kesombongan adalah saudara setan, dan tipu daya setan itu sangatlah lemah.

Jangan sampai kesombongan membuatmu binasa. Anda bisa lihat bagaimana ada seorang ustadz yang ngamuk hanya karena ada kesalahan soundsistem. Sehingga yang menangani sound sistem ketika ia ceramah mendapatkan getahnya, yakni dimarahi dan diperlakukan secara tidak bijaksana. Akibatnya dia di "bully" orang lain di internet. Walaupun ia mencoba membersihkan namanya tetap saja reputasinya sebagai seorang penceramah hancur.
"Hanya orang² yg dipilih dan terpilih lah yg biasanya akan bisa mencapai tataran Kosong Tapi Isi, Isi Tapi Kosong yg sempurna."
Sobat, itulah makna falsafah kosong adalah isi, isi adalah kosong. Jangan hanya dijadikan bacaan namun cobalah dipraktekkan.

Logika Berpikir dalam Kosong di Galehing Kangkung

 Jawa itu basa basi tidak sakleg karena apa yang diajarkan para sesepuh dahulu acapkali hanya berupa bahasa sanepan, pasemon atau bahasa kiasan. Hal ini banyak sekali dijumpai dalam banyak pepatah Jawa yang kadang tidak bisa dicerna dengan akal pikir.

Seperti sanepan pada tajuk ini, Golekono Galihing Kangkung dalam arti harfiah ini berarti kita harus mencari apa inti tengah tengah dari sebuah pohon kangkung. Padahal seperti yang kita tahu bahwa pohon kangkung itu sendiri pada saat kita belah menjadi dua maka kita akan melihat bahwa sama sekali tiada tengahnya, yang ada adalah rongga kosong seperti bilah bambu yang kita belah menjadi dua.
Lantas apa makna kata kata para sesepuh diatas? Apakah para sesepuh sudah gila ? karena pada saat kita tahu sama sekali tidak ada isi ditengah-tengah batang kangkung itu sendiri? lantas apa maksudnya? Saya yakin pertanyaan-pertanyaan ini akan menelingkap logika berpikir kita.
Kalau sedikit kita nggraito atau renungkan lebih mendalam, Justru inti dari sanepan diatas adalah ketiadaan itu tadi, seperti halnya Sidharta Gautama salah satu tokoh spiritual Budha mengatakan “isi adalah kosong,kosong adalah isi”  bukan dalam arti beliau gila. Semua mengandung makna yang mendalam.
Keduanya memiliki arti yang sama bahwa dibalik semua yang indah didunia ini hanyalah semu, tidak ada  yang pantas dibanggakan karena semua itu hanya titipan yang suatu saat harus kita wariskan pada penerus kita.
Sedangkan dibalik semua yang tidak terlihat justru itulah yang sangat diperhitungkan nantinya, seperti: amal ibadah kita, sedekah, rasa ketakwaan kita, dan rasa rasa yang lain yang nanti pada akhir dunia ini sangat diperhitungkan oleh Tuhan dalam menentukan betapa kita menjadi manusia yang mulia atau tidak.
Bertelekan falsafah Jawa Golekono Galehing Kangkung bahwa semua itu berawal dari kosong dan akan menjadi kosong pula, begitu juga manusia. Dulu kita tidak pernah ada karena kita masih di alam Suwung kemudian kita dilahirkan besar dewasa dan mati kita akan kembali ke alam Suwung itu sendiri.
Karena pada saat kita bertanya siapa Tuhan itu? Ya kita bisa jawab Tuhan adalah kekosongan itu sendiri, padahal dalam kekosongan itu Tuhan berkarya dalam menciptakan segalanya.
Semoga sedikit ulasan diatas dapat kita renungkan dan dapat memberi sedikit pemikiran untuk mencapai kesempurnaan akal dan bathin kita. Saya yakin ada banyak kekurangan atas perspektif saya tentang kosong ini dan jauh dari kesempurnaan.  Jika ada kesalahan maka saya mengharapkan agar kerabat akarasa  bisa memberikan masukan pada saya.
Jika benar apa yang tertulis itu semua karena semata mata dibukakan pikiran saya oleh Gusti Allah, jika ada kesalahan seluruhnya milik saya sebagai manusia yg tiada pernah sempurna. Maturnuwun…

Rabu, 27 September 2017

IBU YANG MARAH : DOA YANG DIQABUL ALLAH 25 TAHUN KEMUDIAN

Aku sdg membersihkan rumah. Tiba2 anak lelakiku yg msh kecil berlari ke arahku. Dia tersenggol satu pot bunga yg terbuat dari kaca. Pecah hancur berantakan.
Aku benar2 marah krn pot itu mmg mahal harganya. Tanpa ku sadari, aku telah melontarkan kata2,
"Matilah kamu! Semoga kamu ditimpa dinding bangunan dan tulang-belulangmu hancur!”
Tahun demi tahun berlalu. Anak lelakiku membesar, aku sdh lupa akan doa itu. Aku pun tak anggapnya penting dan aku tak tahu bhw doa itu telah naik ke langit.
Anak lelakiku dan adik2nya yg lain tumbuh besar. Dia anak sulung yg paling aku sayangi dari anak2ku yg lain. Dia anak yg rajin dan pandai menghormati aku dan berbakti kepadaku dibandingkan adik2nya yg lain.
Kini dia telah menjadi seorg insinyur. Tak lama lagi dia akan menikah. Tak sabar rasanya aku ingin menimang cucu.
Ayahnya punya sebuah bangunan yg sdh lama dan ingin direnovasi. Maka pergilah anakku bersama ayahnya ke gudang itu. Para pekerja sdh bersiap2 utk merobohkan satu dinding yg sdh usang.
Sementara pekerja sdg bekerja, anakku pergi ke belakang bangunan tanpa diketahui oleh siapa pun. Dgn tak disangka2 dinding bangunan itu roboh menimpanya!
Terdengar suara berteriak dalam runtuhan itu hingga suaranya tak kedengaran lagi.
Semua pekerja berhenti. Heran suara siapa? Mereka berlari ke arah reruntuhan itu. Mereka mengangkat dinding yg menghimpit anakku dgn susah payah dan segera memanggil Ambulan.
Mereka tdk dpt mengangkat badan anakku. Ia remuk seperti kaca yg jatuh pecah berkeping2.
Sebagian mereka mengangkat badan anakku yg hancur dgn hati2 dan segera membawanya ke UGD di RS.
Ketika ayahnya menghubungiku, seakan2 Allah menghadirkan kembali kata2ku padanya semasa ia msh kecil dulu.
Aku menangis hingga pingsan, setelah aku sadar, aku berada di RS dan aku meminta utk melihat anakku. Ketika melihatnya, aku seakan mendengar suara yg berkata,
"INI DOAMU KAN? Sudah AKU kabulkan! Setelah sekian lama engkau berdoa, skrg Aku akan mengambilnya!"
Ketika itu, jantungku seakan berhenti berdetak. Anakku menghembuskan nafasnya yg terakhir. Aku berteriak dan menangis sambil berkata,
"Ya Allah! Selamatkanlah anakku! Jgn pergi nak.."
Seandainya, lidah ini tdk mendoakan kejelekan 25 tahun yg lalu...!
Andaikan..! Andaikan..! Andaikan..! Tetapi kalimat ‘andaikan’ ini tak berguna lagi skrg ini..
Cerita ini dari satu kisah nyata! Pesanku pd para IBU. Jgn sekali2 terburu2 mendoakan KEBURUKAN anakmu ketika kamu sdg marah...!!!
Berlindunglah kepada Allah dari godaan iblis. Jika kamu ingin memukulnya, pukul sajalah, tapi jgn kamu mendoakannya dgn yg bukan2 sehingga kamu akan menyesal sepertiku...!!!!
Sungguh aku menulis ini dgn airmataku yg turut mengalir.
Wahai anakku..! Aku rela rohku turut bersamamu..! Hingga aku boleh beristirahat dari kepedihan yg aku rasakan setelah kepergianmu...
Ya Allah, ampunilah dosaku, dosa ibu bapa ku, keluarga ku,saudaraku dan setiap orang yang meng-klik Suka, share & berkomentar "aamiin" dan jangan Engkau cabut nyawa kami saat tubuh kami tak pantas berada di SurgaMu. Aamiin... 
.
Sobat sekarang anda memiliki dua pilihan ,
1. Membiarkan sedikit pengetahuan ini hanya dibaca disini
2. Membagikan pengetahuan ini kesemua teman facebookmu , insyallah bermanfaat dan akan menjadi pahala bagimu. Aamiin..
Tolong sebarkan cerita ini kpd semua wanita..! Doakanlah yg baik2 saja utk anak2! Doa itu pasti akan terjawab walaupun utk sekian lama. Tunggulah dan Allah pasti mengabulkannya. Aamiin.

DAHWAH WALI SONGO

(1) SENJATA KALIMOSODO...kemana mana hnya membawa kebesaran ALLAH SWT
Kalimosodo,kalimat shahadat,ahadiyah yaitu
Dzikir laailahailallah beserta isi dari kalimat itu.
Yaitu ismudzat(dzikir khafi,dzikir ruh,dzikir sirri.)
(2) digdoyo tanpo aji..walaupun di musuhi,di caci maki,bahkan di fitnah tetapi mentalnya
Teguh tdk pernah sakit hati..justru wali songo
Sangat mencintai orang2 yg membencinya,,
Karena yg membencinya itu blm faham,,juga
Blm mendapatkan hidayah,,
Wali songo juga tdk pernah tersinggung dan
Marah walau di sakiti dan di benci, slu berjaya
Walau tanpa kesaktian,karena mereka berpegang teguh kpd ALLAH SWT aji pasrah
Tawakal billah..
(3)mabur tanpo lar..pergi kedaerah nan jauh
Walaupun tanpa sebab yg nampak,,maksudnya
Secara dzahir adalah setiap pepatah kata2nya
Selalu jadi buah bibir masyarakat sampai ke tempat jauh,berbekas di HATI
Secara batin adalah ruh qudsy wali songo
Sukmane urip lan biso hadir di setiap tempat.
(4) mletik tanpo sutang..pergi ke daerah yg sulit
Di jangkau seperti gunug2 juga tanpa sebab yg
Kelihatan ITIHAD manunggaling semesta alam
ANA SIRO ONO INGSUN puser jagat QUTUBUL
ALAMIN.
(5) ngluruk tanpo wadyo bolo..berdakwah dan
Berkeliling kedaerah lain tanpa membawa pasukan,tetapi dgn membawa kasih sayang yg
Tulus penuh kelembutan welas lan asih yg akn
Di terima oleh orang di setiap daerah.
(6) tarung tanpo tanding..slu mengajak orang
Supaya memerangi nafsunya sendiri,tidak pernah berdebat,bertengkar atau berselisih faham,tdk ada yg menandingi cara krja dan
Hasil krja dari mereka ini yg begitu luwes
Bil- ruh bil- lisan- bil- hal
(7) menang tanpo ngasorake..tidak merendahkan orang lain mengkritik dan membandingkan mencela orang lain bahkan
Tetap berbaik sangka,selau melihat orang lain
Dari sisi kebaikannya.
(8) mulyo tanpo punggowo..di mulyakan,di sambut di hargai di beri hadiah di perhatikan
Walaupun mereka bukan orang alim ulama,tdk
Pernah mesantren,tetapi manusia biasa yg sdh
Mengenal dirinya dan mengenal TUHANNYA
(Ma'rifat) yg menjadikan DA'WAH sebagai tujuannya untuk menghapai ridhanya ALLAH SWT.
(9) sugih tanpo bolo..mereka akn merasa kaya
Dlm hatinya,keinginannya bisa kesampaian
Terutama menghidupkan sunah NABI.
Bisa terbang kesana kemari dan keliling dunia
Melebihi orang kaya
(Sumber dari kitab babat tanah jawa dan perkembangan islam di timur jauh..AL MAKTAB
AL DAIMI)

Selasa, 26 September 2017

WEDAR SABDO SAJEN RUWATAN BETORO KOLO MURWOKOLO

Nguri uri budoyo jowo Lan Ngaji Wali Wali Jawi.. Sesarengan wedar cerito meniko..... 
+ Ngger... Ngertimu sesajen kwi opo.lee.?
- Sak ngertos kulo meniko nyajeni demit
+ Kowe wis tau weruh demit..?
- Nggih dereng
+ Nek durung tau weruh kowe ojo ngomong, ndak mbingung2i..!! Kowe tau weruh demit doyan gedhang..? Eneng demit doyan gethuk /jenang..? Eneng ora..? Sesaji kwi penyajian mbukte-ake, sambung rapet'e karo sodakoh bumi utowo sedekah bumi..
- Bumi kok dipun sedekahi /dipun sodakohi..?
+ Manungso kwi ngidak2 bumi opo ora..? Wong kwi nguyohi bumi opo ora..? Ngisingi bumi ora..? Manungso kwi mangan opo..?
- Nedho sekul.
+ Maune..?
- Pantun.
+ Nandur pari iku di tancepke bumi opo di tancepke ning ndas..??
- Nggih dipun tancepaken bumi
+ Manungso suk yen mati nyang ngendi..?
- Dipun kubur
+ Lak yo ning njero bumi tho..?
Saiki pitakone : Menungso kwi ngidak2 bumi, nguyohi bumi, nelek'i bumi, mangan sego maune pari tandur ning bumi, suk yen mati di kubur ning bumi. Saiki manungso kwi wis opo durung ngaturake panuwun marang Gusti..? Nikmat'e bumi sing mbok idak2 iki..? Hayoo..!! Mulo bumimu kwi rusak..!!
Manungsane kurang tan ngibadah, ora ngaturake panuwun marang Gusti, nikmat'e bumi sing mbok idak2.. Malah ngrusak..!! Rumangsane nggone mbahmu po..?
Lhaaa, mulo di wujud'ake ono sesaji kwi mau. Kwi dongane yo gampang..
"Duh Gusti, ngaturaken panuwun ingkang tanpo upami Duh Gusti... Paduko peparing wujud-ipun bumi saged ngurakapi sedoyo poro umat..."
Wujud'e yo sajen kwi.. Telo, pohong, gedang, pari, lan sak piturute, ngurakapi karo umat..
Nek kowe ora ngandel, wetengmu luwe cobo mangano gedang, mengko lak yo wareg..ngono kuwi lo leee poro Kanjeng Sunan Wali wali ing tanah jowo mulang wuruk... Ojo sembrono ngarani bid'ah syirik musyrik... Yo lee... 
Kacatet deneng Kang Fuad Al Jawi

Penjelasan penetapan hari jawa :

Dalam penanggalan Jawa, hari dimulai pada hari sebelumnya pukul 5 sore (pk.17.00) dan berakhir pada hari yang bersangkutan pukul 5 sore (pk.17.00). 
Jadi, mulainya hari adalah hari sebelumnya pk.5 sore, dan batas akhir suatu hari adalah hari itu pada pk.5 sore.
Berarti hari Senin dimulai pada hari sebelumnya, yaitu hari Minggu pk.5 sore dan berakhir pada hari Senin tersebut pk.5 sore.
Hari Senin itu pada pk.6 sore (mahgrib) sudah terhitung sebagai hari Selasa, karena sudah melewati batas akhir hari Senin pk.5 sore.

Hitungan hari kelahiran jawa :

Misalnya tanggal kelahiran 10 Juni 1970, pada penanggalan jawa harinya adalah Rabu Wage.

Sesuai hitungan hari jawa di atas, maka hari kelahiran Rabu Wage 10 Juni 1970 itu berlaku untuk orang-orang yang lahir dalam rentang waktu antara 9 Juni 1970 pk.17.00 sampai dengan 10 Juni 1970 pk.17.00. 
Orang-orang itu, bila ingin puasa weton, yang dijadikan patokan hari kelahirannya adalah hari Rabu Wage.

Sedangkan orang-orang kelahiran 10 Juni 1970 pada malam hari (melewati pk.17.00), berarti hari kelahiran jawa orang itu bukan Rabu Wage, tetapi adalah Kamis Kliwon, karena waktu (jam) kelahirannya sudah melewati batas akhir hari Rabu Wage pk.17.00, sudah masuk ke hari Kamis Kliwon. Orang-orang itu, bila ingin puasa weton, yang dijadikan patokan hari jawa kelahirannya adalah Kamis Kliwon, bukan Rabu Wage.

(Mengenai hitungan hari kelahiran jawa ini silakan dicari pada program primbon hari kelahiran di internet. Sesudah itu tinggal anda sesuaikan hari jawanya dengan jam kelahiran anda apakah pagi hari, siang hari atau malam hari. Lebih baik lagi bila programnya itu bisa didownload).

Beberapa hitungan hari dalam puasa weton sbb :

1. Puasa weton sehari. 
Puasa weton sehari ini adalah yang secara umum dilakukan orang dalam budaya Jawa.
Puasanya 1 hari Jawa (sehari semalam, 24 jam).
Misalnya hari kelahirannya adalah Selasa Pahing, 
maka puasanya dimulai pada hari sebelumnya, yaitu hari Senin pk.5 sore dan berakhir pada hari Selasa 
Pahing tersebut pk.5 sore.

2. Puasa weton 3 hari (puasa apit weton - hari weton diapit di tengah). 
Puasa weton 3 hari biasanya dilakukan untuk harapan terkabulnya suatu keinginan khusus yang kejadiannya 
tidak terjadi setiap hari.
Puasa weton 3 hari dilakukan selama 3 hari jawa terus-menerus tanpa putus, yaitu puasa pada hari wetonnya 
ditambah 1 hari sebelumnya dan 1 hari sesudahnya, sehingga total puasa menjadi 3 hari jawa terus-menerus 
(3 x 24 jam). Hari wetonnya diapit di tengah.
Puasa weton 3 hari (puasa apit weton) ini mempunyai efek kegaiban mirip seperti puasa ngebleng 3 hari. 
Misalnya kelahiran Rabu Kliwon, 
maka puasanya dijalankan selama 3 hari, yaitu Selasa, Rabu Kliwon dan Kamis terus-menerus tanpa putus.
Hari Selasa dimulai pada hari sebelumnya, yaitu hari Senin pk.5 sore.
Hari Kamis berakhir pada pk. 5 sore hari.
Jadi puasa weton Rabu Kliwon 3 hari itu dimulai pada hari Senin pk.5 sore dan berakhir pada hari Kamis 
pk.5 sore. Puasanya terus-menerus tanpa putus siang dan malam. Berbuka puasanya hari Kamis pk.5 sore. 

3. Puasa weton 3 hari selama 7 kali berturut-turut (7 kali puasa apit weton). 
Artinya, puasanya dijalankan selama 3 hari jawa terus-menerus tanpa putus dan dilakukan selama 7 kali 
berturut-turut tanpa putus (selama 7 bulan jawa berturut-turut). 
Jenis puasa ini biasanya dilakukan untuk harapan terkabulnya suatu keinginan khusus yang bukan sesuatu 
yang biasa terjadi sehari-hari dan waktu pencapaiannya agak panjang (pada masa depan), atau untuk 
keinginan terkabulnya suatu keinginan khusus yang berat, yang kadarnya tinggi, yang bagi seseorang sulit 
untuk dicapai dengan usaha yang normal (biasanya disertai nazar), sehingga diperlukan suatu laku tambahan 
demi terkabulnya keinginannya itu, yaitu puasa ngebleng 3 hari 3 malam pada hari weton kelahirannya dan 
dilakukan selama 7 kali (7 bulan jawa) berturut-turut tanpa putus dan ditutup dengan suatu ritual dan sesaji 
penutup (tumpengan), selametan atau syukuran atas berhasilnya dirinya menunaikan hajat berpuasa itu. 
Sesudah puasa 7 kali itu tercapai, bulan-bulan berikutnya tetap puasa wetonan.
Misalnya kelahiran Rabu Kliwon, 
maka puasa weton 3 hari setiap Rabu Kliwon itu dilakukan terus-menerus selama 7 kali berturut-turut (7 bulan 
jawa) tanpa putus.

Rahasia Wetonan (Puasa Weton)

Puasa weton (wetonan) adalah puasa untuk memperingati hari kelahiran seseorang sesuai laku dan tradisi dalam budaya jawa.
Puasa weton adalah jenis puasa ngebleng yang sudah umum dilakukan oleh orang-orang di masyarakat jawa pada hari weton kelahirannya yang perhitungan waktu mulai berpuasa dan menutup puasa dilakukan berdasarkan hari kelahirannya dalam kalender jawa.
Puasa weton biasanya dilakukan orang dengan niat menjaga kedekatan hubungan pancer (orangnya) dengan roh sedulur papatnya, supaya kuat sukmanya, selalu peka rasa dan batin, peka firasat, peka bisikan gaib, untuk mendapatkan restu pengayoman dari para leluhurnya, supaya hidupnya keberkahan dan lancar segala urusan dan usahanya, atau untuk terkabulnya suatu keinginan yang sifatnya penting.
Puasa weton harus dilakukan dengan sugesti kebatinan, yaitu dengan sikap hati berprihatin, menjauhi hiburan dan sikap bersenang-senang dan banyak berdoa menghadap ke timur dengan kesatuan hati difokuskan kepada Tuhan di atas sana (baca : Kebatinan Dalam Keagamaan), bukan sekedar sudah terlaksananya formalitas berpuasa weton, karena pengaruhnya yang diharapkan adalah bersifat kegaiban roh / sukma, bukan biologis.
Laku puasa tersebut dimaksudkan untuk menjadikan hidup mereka lebih 'bersih' dan keberkahan, sekaligus juga bersifat kebatinan, yaitu untuk memelihara kepekaan batin dan memperkuat hubungan mereka dengan saudara kembar gaib mereka yang biasa disebut 'Sedulur Papat', sehingga lakunya berpuasa itu juga untuk memelihara 'berkah' indera keenam seperti peka firasat, peka terhadap petunjuk gaib / pertanda, peka tanda-tanda alam, dsb.
Kegaiban puasa weton terkait dengan kegaiban yang berasal dari sukma manusia sendiri (kegaiban dari kesatuan roh pancer dan sedulur papat), tidak berhubungan dengan kegaiban roh-roh lain atau khodam.
Puasa weton tidak bisa disamakan atau diperbandingkan atau ditukar dengan puasa bentuk lain, karena sifat dan kegaibannya berbeda.
Dalam menjalankan puasa weton orang tetap dibolehkan melakukan aktivitas yang lain, hanya saja jangan sampai orangnya lupa bahwa ia sedang berlaku prihatin. Selama menjalankan puasa weton itu orangnya harus sadar bahwa ia sedang berlaku prihatin.
Sejak jaman dulu masyarakat dan spiritual Jawa meyakini bahwa setiap manusia mempunyai saudara-saudara halus yang mendampinginya. Mereka tidak kelihatan mata biasa. Mereka tergolong sebagai roh-roh halus. Saudara-saudara halus ini banyak yang menyebutnya dengan istilah Saudara Kembar, atau disebut juga Roh Sedulur Papat. 
Konsep tersebut secara umum dipercaya dan dihayati oleh masyarakat jawa. Dalam kehidupan sehari-harinya di masa sekarang pun banyak orang Jawa yang masih menjalankan laku prihatin dan tirakat tertentu untuk memelihara Sedulur Papat mereka.
Kepercayaan terhadap sedulur papat ini tatalaku dan ritualnya dimulai ketika seorang ibu melahirkan bayi. Selain atas kelahiran anaknya itu dilakukan syukuran / selametan, terhadap ari-ari si jabang bayi juga dilakukan suatu "perawatan". Ada tatacara dan ritual tersendiri untuk merawat dan menyimpan / memakamkan ari-ari anak, yang selain dibacakan doa-doa, biasanya juga diberikan sesaji kembang, diberikan lampu penerangan selama 7 atau 40 hari di tempat ari-ari dimakamkan, dan dijaga supaya tidak diganggu hewan dan tidak langsung terkena hujan. 
Pada hari-hari berikutnya biasanya sang orang tua akan tekun memelihara sedulur papat anak-anaknya dengan cara pada hari weton masing-masing anaknya (atau sebulan sekali) ia memberikan bubur merah putih atau jajan pasar untuk dimakan oleh anak-anaknya itu atau memberi kembang di makam ari-ari anak. Harapannya adalah supaya anak-anaknya itu terpelihara tubuh dan sukmanya, sehat secara kejiwaan, sehat tubuhnya tidak mudah sakit-sakitan, dan tidak ada masalah dalam hidupnya.
Setelah anak-anaknya beranjak dewasa, maka anak-anaknya itu sendiri yang harus memelihara sedulur papatnya sendiri dengan cara rajin berpuasa weton setiap hari wetonnya (hari kelahirannya sesuai kalender jawa).
Sampai sekarang dalam masyarakat Jawa masih ada kepercayaan dan tradisi yang dilestarikan untuk melakukan semacam ritual, puasa dan doa dan memberi sesaji untuk sedulur papat, seperti ritual / puasa wetonan, dengan sesaji bubur merah-putih, atau jajan pasar, mandi kembang, atau memberi kembang di makam ari-ari anak, dsb. Tradisi ini baik sekali bila dilakukan, supaya sukma orang yang bersangkutan terpelihara, sehat secara kejiwaan, sehat tubuhnya tidak mudah sakit-sakitan, dan supaya lancar segala urusan hidupnya. Bahkan ada juga orang yang secara khusus menyimpan ari-arinya (yang sudah kering) di dalam lemari atau di dalam dompetnya dengan harapan sedulur papatnya aktif mendampinginya dan membantunya dalam kehidupannya sehari-hari.
Kepercayaan dasar atas laku dan ritual di atas adalah pada adanya kepercayaan tentang roh sedulur papat yang selalu mendampingi manusia sejak manusia itu lahir. Karena itu orang jawa yang masih memelihara kepercayaan kejawen akan menghormati kepercayaan itu, bahkan masih banyak yang tekun menjalankan tatalaku dan ritual yang terkait dengan sedulur papat.
Puasa weton yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami atau tidak meyakini keberadaan roh sedulur papat kegaibannya tidak akan sebaik mereka yang melakukannya dengan landasan kepercayaan pada adanya kebersamaan roh sedulur papat. Keyakinan pada keberadaan dan kebersamaan roh sedulur papat dengan pancer akan memperkuat kegaiban sukma dan memperkuat interaksi roh sedulur papat dengan roh-roh leluhur orangnya. Dalam kehidupannya sehari-hari kegaiban sukma akan membantu dalam kemantapan bersikap, membantu membuka jalan hidup dan menyingkirkan halangan dan kesulitan-kesulitan, dan interaksi sedulur papat akan membantu peka rasa dan firasat, peka bisikan gaib, mendatangkan ide-ide dan ilham, peringatan-peringatan dan jawaban-jawaban permasalahan.
Puasa weton adalah suatu laku yang berasal dari tradisi budaya jawa, dilakukan dengan berpuasa pada hari kelahiran seseorang (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu, Minggu) yang hari kelahirannya itu disesuaikan dengan hari pasaran jawa (legi, pahing, pon, wage atau kliwon). Dengan demikian hari weton kelahiran seseorang akan selalu berulang setiap 35 hari sekali. Sesuai ajaran kebatinan jawa selama berpuasa itu orangnya berdoa di malam hari kepada Tuhan di atas sana di luar rumah menghadap ke timur.
.
Foto Msprayitno.

Senin, 25 September 2017

Kisah mistis hutan Jati Donoloyo

Kisah mistis hutan Jati Donoloyo Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri sudah tersiar sejak jaman dahulu. Sebuah hutan yang berada di Desa Watusomo Kecamatan Slogohimo yang terdiri dari ratusan pohon jati tua bahkan ada yang berumur 500 tahun.
Keberadaan hutan jati ini ternyata menyimpan kisah bersejarah tentang kerajaan Majapahit. Hutan belantara dengan nama Donoloyo tersebut konon dulunya merupakan pemasok kayu jati untuk kerajaan Majapahit,
Nama Donoloyo sendiri berasal dari seorang tokoh desa tersebut sekaligus laskar kerajaan Majapahit, Ki Ageng Donoloyo. Dia sengaja menanam pohon jati di kawasan tersebut untuk persediaan bahan bangunan kerajaan. Bahkan, setelah Majapahit runtuh, kayu jati dari Donoloyo masih digunakan di era Wali Songo, tepatnya untuk pembangunan Masjid Demak dan Keraton Surakarta.
Kualitas kayu dari hutan Donoloyo khususnya di kawasan Punden memang tak perlu diragukan. Kayu jati di hutan tersebut rata-rata memiliki tinggi 10 meter dengan diameter 1 meter. Tak heran jika bangunan tempo dulu dengan bahan kayu jati asal alas Donoloyo tidak lapuk meski sudah berumur puluhan tahun.
Selain kisah mengenai kayu jati yang sangat kesohor itu, belantara Donoloyo rupanya menyimpan kisah mistis. Konon, sang penguasa hutan, Ki Ageng Donoloyo masih hidup karena sampai sekarang makam sang Laskar Majapahit tersebut belum juga ditemukan
beliau merupakan prajurit Majapahit yang melarikan diri sampai ke sini
Ki Ageng Donoloyo adalah salah satu anggota laskar Kerajaan Majapahit. Begitu setianya kepada raja dan ingin mengabdikan hidup pada Kerajaan Majapahit, Ki Ageng Donoloyo yang kala itu tertinggal ketika mengikuti rombongan perjalanan raja, akhirnya memutuskan untuk menetap di situ dan menanam pohon jati agar nanti suatu ketika bisa dimanfaatkan Kerajaan Majapahit.
Dikisahkan jaman dahulu awal berkembangnya agama Islam di Jawa, para wali ingin mendirikan sebuah Masjid sebagai sentral untuk syiar agama. Masjid ini berlokasi di Demak yang memang merupakan pusat dari berkembangnya agama Islam.
Kemudian para wali mengutus Sunan Kalijaga ini mengembara mencari pohon yang akan digunakan sebagai tiang untuk mendirikan Masjid Agung ini. Berkat kharomah Sang Sunan Kalijaga dapat melihat bayangan sebuah pohon besar yang sampai dapat dilihatnya dari Demak.
Merasa bahwa bayangan ini berasal dari sebuah pohon besar yang sedang dicarinya maka Sunan Kalijaga mencari dari mana asal bayangan pohon ini.
Dalam pencariannya Sunan kalijaga akhirnya menuju arah selatan Jawa, hingga tiba disebuah hutan jati diseberang sungai. Disinilah Sunan Kalijaga beristirahat, dan mendirikan sebuah Masjid yang sekarang dikenal sebagai Masjid Tiban Wonokerso di Baturetno.
Sunan Kalijaga kemudian meneruskan perjalanan ke arah timur laut karena bayangan pohon yang dicarinya belum ketemu.
Setelah beberapa waktu melakukan perjalanan, Sunan Kalijaga akhirnya sampai di hutan Jati Donoloyo. Disinilah ternyata asal muasal bayangan pohon yang bisa terlihat hingga ke wilayah Demak.
Akhirnya seraya mengucapkan syukur kepada Sang Khalik, Sunan Kalijaga menebang pohon Jati induk ini untuk dijadikan tiang utama Masjid Agung Demak. Sisa pangkal (Pok) pohon jati inilah yang sekarang dijadikan petilasan atau punden.
Disekitar petilasan masih terdapat beberapa pohon Jati yang berukuran raksasa dengan diameter lebih dari 1 meter sehingga menambah aura spiritual yang kuat.
Menurut juru kunci petilasan Donoloyo,petilasan ini masih sering dikunjungi orang untuk bermunajat kepada Sang Khalik maupun hanya sekedar menenangkan batin yang sedang dirundung suatu masalah.
“Pohon jati yang tertua di hutan ini diberi nama Jati Petruk dan Jagal Abilawa yang memiliki diameter cukup besar” katanya.
Bagi mereka yang ingin sekedar berwisata terdapat area parkir yang cukup luas, serta dilengkapi bangunan peristirahatan. Menikmati suasana hutan jati ini seakan membawa kita kepada suasana di masa lalu, terdapat pohon jati ukuran raksasa ditambah hawa sejuk dan angin semilir yang menenteramkan.
Seiring dengan usia pohon jati yang semakin tua dan rapuh, ada beberapa pohon yang tumbang karena akar pohon sudah lapuk dan akar muda belum kuat menyangga batang utama yang besar.
Apabila pohon tumbang maka pohon yang tumbang ini akan dibiarkan dan tidak ada seorangpun berani mengambil bahkan rantingnya sekalipun.
Hal ini karena kepercayaan masyarakat bahwa membawa pohon, ranting, daun dan apapun dari hutan ini akan celaka dan secara magis akan dikembalikan ke tempat semula.
Padamulanya Donoloyo adalah nama sebuah hutan yang berada di tepian hulu Bengawan Solo. Kemudian nama inilah yang digunakan oleh masarakat sekitar hutan itu untuk menyebut seorang laki-laki yang terkenal santun dan bijak lagi sakti yang kemudian babat alas (membabat hutan) untuk ia diami kelak bersama keluarganya. Orang-orang sekitar hutan itu menyebutnya Ki Ageng Donoloyo.
Ki Ageng (sebutan untuk orang yang dihormati di suatu desa) Donoloyo adalah seorang laskar Majapahit yang tertinggal dari pasukannya di daerah Wonogiri sebelah timur, tepatnya di desa Sambirejo kecamatan Slogohimo sehingga ia memutuskan untuk tidak kembali dan menetap di wilayah itu (ada yang berpendapat hal ini diperkirakan oleh pengaruh raja mereka, Airlangga yang memutuskan meninggalkan kerajaan untuk mencari keabadian dengan bertapa, namun ada pula versi lain yang mengatakan bahwa mereka berdua tidak pulang ke Majapahit akibat terjadi peperangan saudara dan desakan dari kerajaan Islam Demak).
(Menurut versi lain pula banyak orang mengatakan bahwa Ki Ageng masih kerabat dekat dengan Airlangga, penguasa Majapahit ketika itu yang mana kemudian memberikan sebuah wilayah untuk dikembangkan menjadi sebuah desa layaknya Gajah Mada).
Ketika tertinggal ia tidak sendiri melainkan ia bersama seorang laskar lain yang kelak dinamakan oleh orang-orang sekitarnya dengan nama Ki Ageng Sukoboyo. Namun kemudian mereka memutuskan untuk berpisah mencari wilayah sendiri-sendiri untuk mereka jadikan tempat menepi dan kelak pada akhirnya berkeluarga. Ki Ageng Donoloyo menuju ke selatan sementara Ki Ageng Sukoboyo menuju ke utara di hutan Sukoboyo setelah terjadi pertengkaran kecil di tengah-tengah wilayah yang kemudian kelak mereka diami. Ki Ageng Sukoboyo mempunyai watak yang keras sementara Ki Ageng Donoloyo sebaliknya.
Setelah beberapa tahun kemudian Ki Ageng Donoloyo dicari oleh seorang kakak perempuannya. Hingga pada akhirnya suatu saat kakak Ki Ageng Donoloyo itu dipersunting oleh Ki Ageng Sukoboyo. Hal inilah yang kemudian mempererat kembali ikatan di antara keduanya meski pada mulanya mereka sempat berseteru memperebutkan tempat menepi.
Masalah kedua pun muncul (kelak masalah ini merenggangkan kembali persaudaraan mereka) ketika Ki Ageng Donoloyo ingin mengunjungi kakak perempuannya setelah sekian lama tidak bertemu. Kejadian ini adalah ketika Ki Ageng Donoloyo hendak pulang ke daerahnya, ia terpaku pada sekitar kediaman Ki Ageng Sukoboyo yang tumbuh beberapa pohon Jati besar, tinggi menjulang. Ia tidak tahu sebelumnya kalau di sekitar rumah kakak iparnya itu tumbuh pohon yang belum ia temui selama hidupnya. Pohon itu seperti mengeluarkan sinar. Terbersit kemudian dalam hatinya untuk bertanya pohon apakah itu kepada Ki Ageng Sukoboyo. Kamudian dijelaskan bahwa pohon itu bernama pohon “jati” pohon yang memiliki batang kayu berkualitas paling baik (sejatinya kayu) di Kedhuang Ombo (tanah Jawa), dan tidak sembarang orang boleh menanamnya. Mendengar penjelasan itu Ki Ageng Donoloyo sangat tertarik untuk meminta klentheng (biji kayu jati) untuk ia tanam di daerahnya. Namun ketika ia mengutarakan niatnya itu, justru ia mendapatkan tolakan. Ki Ageng Sukoboyo marah-marah tak terkira mendengar permintaan Ki Ageng Donoloyo. Namun dengan sabar Ki Ageng Donoloyo hanya menunduk dan diam mendapatkan semprotan marah kakak iparnya itu. Lantas ia pun berpamitan untuk kembali ke niatnya semula yakni pulang ke daerahnya (kelak disebut hutan Donoloyo).
Sesampainya di tengah perjalanan ia tercengang keget ketika kakak perempuannya (istri Ki Ageng Sukoboyo) meneriakinya dari belakang. Ia pun berhenti dan menoleh. Sang kakak menghampiri dan berkata bahwa ia telah mendengar percakapannya dengan Ki Ageng Sukoboyo dan juga permintaan tersebut. Sang kakak menyarankan agar ia satu purnama lagi kembali dan membawa tongkat dari bambu uluh (jenis bambu paling kecil yang biasa dipakai sebagai tempat membran terompet tahun baru) untuk menyembunyikan biji jati dengan cara menghunjamkan tongkat itu di atas klentheng / biji jati sehingga biji tersebut akan masuk dengan sendirinya. Sang kakak melarangnya untuk waktu dekat ia kembali lagi ke rumahnya sebab ia khawatir Ki Ageng Sukoboyo masih merasa tersinggung dan menyimpan marah dengan permintaan adiknya tempo hari. 
Dan sampailah satu purnama itu, Ki Ageng Donoloyo akhirnya berhasil mencuri dua biji jati dari pekarangan Ki Ageng Sukoboyo meski ketika itu mereka berdua bersama-sama tampak asik berjalan-jalan sembari bercakap-cakap di bawah pohon jati kesayangan Ki Ageng Sukoboyo. 
Meski berhasil mencuri dua biji klentheng dan merasa yakin jika Ki Ageng Sukoboyo tidak mengetahui tindakan culasnya ini ia masih saja gugup, dan hal ini membuatnya pulang dengan tergesa-gesa dan membuat sepasang kakinya sedikit berlari.
Sampailah kemudian ia di hutan Denok (sekarang desa Made). Ia beristirahat di bawah pohon bulu (semacam beringin) yang rindang. Di situlah kemudian satu biji terjatuh dan tumbuh besar dengan dililit pohon bulu (pohon jati berada tepat di tengah lilitan pohon bulu sehingga terlihat unik, tampak seperti pohon bulu yang merangkul pohon jati). Jati itu kemudian dinamakan jati Denok. Sementara satu biji kemudian ditanam di hutan Donoloyo yang kelak dinamakan Jati Cempurung, yang juga kemudian dipercayai digunakan sebagai soko guru pembangunan masjid Demak kali pertama. Jati Cempurung ini memiliki keunikan yakni sore ditanam paginya sudah tumbuh dengan berdaun dua. Maka tidak heran jika kemudian konon jati ini tumbuh dengan cepat dan besar sehingga bayang-bayangnya ketika pagi sampai di tengah alun-alun Demak.
Maka semenjak itulah ketika jati Cempurung sudah beranak-pinak Ki Ageng Donoloyo melarang warga sekitar hutan Donoloyo untuk membawa atau menjual pohon jati dari Donoloyo kepada orang-orang di utara jalan (sekarang jalan raya Wonogiri-Ponorogo yang dipercayai sebagai tempat pertengkaran pertama kali antara Ki Ageng Donoloyo dengan Ki Ageng Sukoboyo ketika berebut tempat untuk menepi) sebab hal itu akan berdampak kematian, kayu jati itu dengan sendirinya akan berubah menjadi jengges tenung (santhet) pada yang membawa (mengangkut) dan yang menjualnya.
Konon pula kemudian Jati yang berasal dari hutan Donoloyo semua memiliki ciri growong di tengah batangnya meskipun sedikit, sebab hal ini dikarenakan induknya (Jati Cempurung) adalah dari hasil mencuri. Selain itu keunikan lainnya adalah adanya suatu cerita yang mengatakan bahwa ketika keraton Surakarta membutuhkan dua batang pohon jati yang berasal dari hutan Donoloyo dapat kembali lagi ke asalnya setelah seorang ndalem (kerabat keraton) mencemoohnya. Jati itu kembali ke sisi hutan Donoloyo paling barat, tepatnya di desa Pandan (dan dua batang pohon jati itu sampai sekarang masih ada. Orang-orang mempercayai dua batang pohon jati yang tergeletak di pinggir sebuah sawah di desa Pandan itu adalah Jati yang kembali akibat dicemooh orang nDalem Keraton Surakarta).
Jati Cempurung dan Masjid Demak 
Ki Ageng Donoloyo sangat takjub dengan pertumbuhan jati yang ditanamnya ini. Pohon jati itu tumbuh dengan luar biasa. Dengan waktu yang tidak lama pohon jati itu tumbuh besar menjulang tinggi. Pohon jati itu memberinya kebanggaan luar biasa. Setiap hari ia memandangnya sembari memanjakan burung perkutut putih kesukaanya sembari pula menghisap candu dengan pipa panjang yang dihisap dari samping bersama anak-anak dan istrinya (versi lain mengatakan bahwa Ki Ageng Donoloyo tidak beristri). Sesekali sembari menikmati pohon jati itu Ki Ageng menanggap ledhek mbarang (orkes keliling) jika kebetulan lewat.
Hingga pada akhirnya datanglah utusan Raden Patah dari kerajaan Demak menemui Ki Ageng Donoloyo untuk membeli pohon jati yang ditanamnya itu berapapun harganya. Ki Ageng Donoloyo pun memperbolehkannya, tapi ia tidak meminta apa-apa sebagai gantinya. Ia hanya meminta sebuah sarat “Lemah Kedhuang Ombo yen ono pagebluk njaluk kalis lan ojo kanggo papan peperangan : tanah Jawa ini jika ada paceklik maka segeralah bisa diatasi dan jangan dijadikan sebagai ajang peperangan.” Maka segeralah utusan itu ke Demak dan menyampaikan sarat Ki Ageng kepadanya. Maka Raden Patah pun menyanggupinya.
Raden Patah pun mengutus beberapa dari Wali Songo untuk menebang jati Cempurung. Sebelum menebang para wali itu berembug di sebuah desa mengenai penebangan hingga cara membawa kayu jati itu ke Demak sebab ukuran pohon jati yang luar biasa besarnya (sekarang desa tempat berembug para Wali itu dinamakan desa Pule kecamatan Jatisrono, yang berasal dari kata “Ngumpule” yang berarti berkumpul untuk berembug). Kemudian disepakatilah cara mengangkut Jati Cempurung itu setelah ditebang yakni dengan cara dihanyutkan di hulu sungai Bengawan Solo (tepat persis di belakang punden) ketika musim penghujan. Konon pula setelah Jati Cempurung itu ditebang batang paling ujung/ pucuk jatuh di sebuah desa di kecamatan Sidoarjo yang berjarak kurang lebih 18 km sehingga desa itu dinamakan desa Pucuk. 
Setelah penebangan Jati Cempurung itulah menurut banyak orang kemudian Ki Ageng Donoloyo sudah tak tampak lagi di kediamannya. Banyak orang mempercayainya Ki Ageng telah moksa, hilang bersama raganya.
semoga cerita diatas menambah wawasan kita akan perjalanan spiritual leluhur kita dahulu
Dan hingga sekarang kepercayaan ini masih begitu kuat dan tidak seorangpun berani melakukan pencurian di hutan jati ini.

KERAJAAN PAJANG

Awal berdirinya Kerajaaan Pajang
Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dmana Pajang dilhat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina. 
Ceritera mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.
Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.
2.2 Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Pajang
2.2.1 JAKA TINGKIR
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
2.2.2 ARYA PANGIRI
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
2.2.3 PANGERAN BENAWA
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.
Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
2.3 BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG
2.3.1 Aspek Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
2.3.2 Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.
2.3.3 Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.
2.4 KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.